Makalah Pelaksaan Penegakan Hukum dan HAM di Era Sekarang
Makalah Pelaksaan Penegakan Hukum dan HAM Di Era Sekarang
Disusun
Oleh :
Lailatul
Hidjriah / Si Tukang Halu Akut :v
UNIVERSITAS
TERBUKA JEMBER
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah Negara Hukum baru dikenal pada abad
XIX tetapi konsep Negara Hukum telah lama ada dan berkembang sesuai dengan
tuntunan keadaan. Pemerintahan berdasarkan hukum adalah suatu prinsip dimana
menyatakan bahwa hukum adalah otoritas tertinggi dan semua warga negara tunduk
kepada hukum dan berhak atas perlindungannya. Secara sederhana supremasi hukum
bisa dikatakan bahwa kekuasaan pihak yang kuat diganti dengan kekuasaan
berdasarkan keadilan dan rasional.
Kehidupan yang mencuat dewasa ini, terutama bagi
kehidupan bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia, Penegakan Hak Asasi
Manusia merupakan salah satu isu penting dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Namun masih banyak pelanggaran HAM di Indonesia yang belum terselesaikan dengan
baik, banyak pihak yang masih ragu-ragu akan penegakan hak asasi
manusia di Indonesia. Banyak faktor
yang mempengaruhi penegakan HAM di Indonesia, dan faktor penyebab
kurang ditegakkannya HAM di Indonesia.
Bergulirnya iklim reformasi dan demokratisasi di
Indonesia dalam kurun waktu beberapa
tahun terakhir ini telah membawa angin perubahan berupa kebebasan berekspresi
yang sangat bebas. Kebebasan tersebut pada beberapa kesempatan telah
“kebabalasan” bahkan berujung pada konflik horisontal maupun konflik vertikal.
Konflik yang tidak terkelola dengan baik ditambah dendam masa lalu pada masa
Pemerintahan Orde Baru, yang sangat otoriter berdampak pada kekerasan bahkan
telah terjadi konflik bersenjata. Bahkan beberapa daerah telah jatuh korban
berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan. Terjadi pula pengusiran dan pemusnahan
kelompok etnis tertentu (genocide) oleh kelompok etnis lain. Kekerasan, kontak
senjata dan pemusnahan etnis seakan menjadi “menu utama” berbagai media
di tanah air.
Persoalan
hak asasi manusia berkaitan langsung dengan eksistensi martabat manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Itulah sebabnya, konsep hak-hak asasi manusia
harus dimaknai sebagai sebuah potensi yang dimiliki oleh manusia secara kodrati
yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, sebagai hak dasar, pokok, dan asasi yang
melekat bersama dengan kelahiran manusia di dunia.
John
Locke menyebut hak-hak asasi itu meliputi hak hidup, hak milik, dan hak
merdeka. Dari hak-hak asasi tersebut, kemudian berkembang menjadi hak-hak lain
seperti hak berbicara, hak beragama, hak berusaha, hak berbudaya, hak politik,
hak sama dalam hukum, dan sebagainya.
Sekalipun demikian, tidak semua orang (bahkan
penguasa negara) menyadari akan martabat kemanusiaan tadi baik pengakuan maupun
perlakuannya. Kenyataan yang ada dalam kehidupan, pengakuan terhadap martabat
manusia lebih gampang dari pada perlakuannya. Karena itu, persoalan yang hendak
dipecahkan sekarang adalah bagaimana memperlakukan hak-hak asasi manusia itu
secara konkret (dalam kehidupan nyata) sesuai dengan martabat kemanusiaannya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
HAM adalah hak hak yang melekat pada diri manusia dan
tanpa hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia. HAM adalah hak yang
dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran
di dalam kehidupan masyarakat. Hak asasi bersifat umum karena diyakini bahwa
beberapa hak dimiliki tanpa perbedaan bangsa, ras agama dan jenis kelamin. HAM
bersifat supralegal artinya tidak tergantung adanya suatu negara atau
undang-undang dasar maupun kekuasaan pemerintah bahkan memiliki kewenangan
lebih tinggi karena HAM dimiliki manusia bukan karena kemurahan atau pemberian
negara melainkan karena berasal dari sumber yang lebih tinggi. Disebut HAM
karena melekat pada eksistensi manusia yang bersifat universal, merata dan
tidak dapat dialihkan karena hakikat HAM merupakan upaya menjaga eksistensi
manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan
kewajiban serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan
umum. Begitu juga upaya menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM
menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu pemerintah dan
negara.
Implementasi demokrasi dan HAM tidak akan bermakna dalam
kehidupan berbangsa, dan bernegara dan bermasyarakat apabila tidak ditunjang
dengan penegakan hukum dalam bidangnya. Oleh karena itu harus diciptakan budaya
hukum. Tanpa budaya hukum mudah terjadi pelanggaran hukum dalam masyarakat. Langkah
awal yang harus diciptakan untuk menuju budaya hukum adalah membangun kesadaran
hukum dalam masyarakat, artinya individu dan masyarakat mematuhi hukum karena
suara batinnya yang menghendaki dan bukan karena paksaan dari luar. Suara batin
menghendaki demikian karena hukum itu sendiri dapat menjamin hak-hak yang
sangat diperlukan bagi kelanjutan hidupnya. Kesadaran hukum tidak lahir dengan
sendirinya tetapi dapat tumbuh dari perasaan hukum yang dimiliki setiap orang
atau masyarakat. Adanya perasaan hukum yang tumbuh di tandai dengan adanya keinginan
dari masyarakat itu sendiri untuk senantiasa berbuat yang benar, menegakkan hak
dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk masyarakat. Setiap
anggota masyarakat hendaknya memiliki pola pikir, pola sikap dan pola tindak
yang sama tentang apa yang patut atau tidak patut dilakukan atau dikerjakan atau
meninggalkan hal-hal tercela. Perasaan
ini harus tumbuh dan berkembang serta terpelihara sampai meningkat menjadi
kesadaran hukum.
Faktor moral sangat
berperan karena dengan moral, orang akan mendorong untuk melakukan hal yang
positif dan pantas. Apabila kondisi ini ditemukan dalam masyarakat akan
tercipta kedaulatan hukum yang dapat melahirkan negara hukum. Kedaulatan hukum
atau negara hukum dimaksud bukan dalam arti formal saja tetapi sekaligus dalam
arti materiil yaitu masyarakat sendiri dengan suara batinnya atau dengan
kesadaran mematuhi hukum dalam realitas kehidupan sehari-hari.
Menurut Hugo krabbe, tumbuhnya perasaan hukum akan
menjelma menjadi kesadaran hukum yang akan menimbulkan kewajiban bagi setiap
orang atau masyarakat untuk mematuhi hukum bukan karena tekanan dari pihak luar
atau penguasa.
Semakin banyaknya instrumen HAM baik pada tingkat
internasional maupun dalam negeri Indonesia dan Keppres No. 129 tahun 1998
sebagai bagian dari rencana aksi HAM tahun 1998 sampai 2003 Menunjukkan
kemampuan politik pemerintah untuk mengajukan HAM di Indonesia. Pada tatanan
operasional dibuat komisi nasional HAM berdasarkan Keppres No. 50 Tahun 1993.
Namun demikian pelaksanaan HAM di Indonesia masih memerlukan perbaikan karena
masih sering terjadi pelanggaran HAM yang tidak diselesaikan secara hukum.
Pemerintah berupaya lebih meningkatkan pengamatan terhadap HAM. Salah satu
upaya yang harus ditempuh adalah menegakkan hukum secara konsisten dan tidak
pandang bulu. Dengan demikian, supremasi hukum harus bersungguh-sungguh diwujudkan
demi perlindungan dan jaminan terhadap HAM.
Berdasarkan pasal 28I ayat 5 Amandemen UUD 1945,
pelaksanaan penegakan HAM akan diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Berpijak dari ketentuan tersebut, dikeluarkan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang
HAM. Pasal 1 angka 1 UU tersebut antara lain menyatakan :
“HAM
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan YME yang merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan dan martabat manusia.”
Lebih lanjut dalam pasal 1 angka 6 UU No. 39 tahun 1999 menyebutkan
:
“Pelanggaran
HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan
hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut HAM atau kelompok orang
yang dijamin oleh UU ini tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku.”
Perdebatan tentang siapa yang bertanggung jawab dalam
penegakan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM menjadi wacana dan
diskursus yang tidak berkesudahan. Ada dua pandangan yaitu sebagai berikut.
1.
Menyatakan bahwa yang harus bertanggung jawab memajukan HAM adalah
negara karena negara dibentuk sebagai wadah untuk kepentingan kesejahteraan
rakyatnya. Rakyat yang cerdas sadar sehingga mampu menghargai dan menghormati
HAM. Perlu diberikan pendidikan terutama masalah yang berkaitan dengan HAM. Negara
yang tidak memfasilitasi rakyat melalui pendidikan HAM berarti telah
mengabaikan amanat rakyat.
2.
Menyatakan bahwa tanggung jawab
pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM tidak saja dibebankan kepada negara,
melainkan juga kepada individu warga negara, artinya negara dan individu
sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap pemajuan, penghormatan, dan
perlindungan HAM. Karena itu pelanggaran HAM sebenarnya tidak saja dilakukan
oleh negara kepada rakyatnya melainkan juga oleh rakyat kepada rakyat yang
disebut dengan pelanggaran HAM secara horizontal. Bentuk pelanggaran HAM jenis ini
antara lain adanya penembakan rakyat oleh sipil bersenjata seperti dalam kasus penembakan
Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan beberapa tokoh lainnya, penganiayaan buruh
atau budak oleh majikan seperti kasus Marsinah.
Pelaksanaan HAM seperti halnya pelaksanaan demokrasi, dibedakan
antara pelaksanaan demokrasi (HAM dalam arti ideal dan pragmatis). Pelaksanaan
demokrasi atau HAM, dalam pengertian pragmatis senantiasa banyak dipengaruhi
oleh muatan lokal atau kepentingan demi pembangunan penguasa dengan begitu
mudahnya mengabaikan prinsip-prinsip HAM. Secara ideal, negara tidak dibenarkan
mencampuri HAM setiap warga negara, apalagi menindasnya atau menghilangkannya.
Sejalan dengan amanat konstitusi, Indonesia berpandangan
bahwa pemajuan dan perlindungan HAM harus didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak
sipil, politik, ekonomi, sosial budaya dan hak pembangunan merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik dalam penerapan, pemantauan maupun dalam
pelaksanaan. Sesuai dengan pasal 1 (3), pasal 55 dan pasal 56 piagam PBB, upaya
pemajuan dan perlindungan HAM harus dilakukan melalui suatu kerja sama
internasional yang berdasarkan pada prinsip saling menghormati, kesederajatan
dan hubungan antar negara serta hukum internasional yang berlaku.
Program penegakan
hukum dan HAM (PP Nomor 72 Tahun 200) yaitu yang meliputi pemberantasan korupsi,
anti terorisme dan pembahasannya penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya.
Oleh sebab itu penegakan hukum dan HAM harus dilakukan secara tegas, tidak
diskriminatif dan konsisten.
BAB III
PEMBAHASAN
Penegakan
hukum dan hak asasi manusia di era pemerintahan yang sekarang di bawah pimpinan
Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin harus diperbaiki karena penegakan hukum dan
HAM di era pemerintahan yang sekarang masih berada di peringkat bawah. Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) melansir kinerja 100 hari pemerintahan Joko
Widodo – Ma’ruf Amin. Dari paparan tersebut diketahui kondisi penegakan hukum,
keamanan dan HAM makin memburuk. Kondisi hukum dan hak asasi manusia terus
memburuk seiring dengan pengabaian konstitusi. Hal ini mengindikasikan yang
akan terjadi selama lima tahun masa pemerintahan Jokowi–Ma’ruf.
Setidaknya
ada 9 indikator yang dikaji dalam laporan itu. Pertama, pendekatan keamanan
dengan perluasan definisi radikalisme menjadi intoleransi dalam surat keputusan
bersama 11 kementerian dan lembaga tentang radikalisme serta masuknya TNI dalam
pelibatan persoalan keamanan. Selanjutnya, pemerintah juga dinilai YLBHI sangat
membungkam kebebasan sipil. Hal itu ditilik dari pernyataan Jokowi yang meminta
BIN dan Polri menindak ormas yang resisten dengan omnibus law.
Laporan berpresiden
buruk itu dianggap YLBHI hanya lanjutan dari rekam buruk Jokowi periode I.
Dalam catatan BH-YLBHI, ada 6.128 orang mengalami pelanggaran HAM saat
menyampaikan pendapat di muka umum. Data ini belum termasuk 21 orang yang
ditangkap saat buruh melakukan aksi pada pidato Presiden 16 Agustus 2019. Kemudian,
Jokowi meski sudah dilarang TAP MPR VI/2000 – kembali mengaktifkan dwifungsi
TNI-Polri. Artinya aparat boleh punya kuasa lagi di kementerian. Lalu,
Pemerintah Jokowi juga tidak melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus
pelanggaran HAM berat yang sudah ditangani Komnas HAM. Kebijakan Jokowi malah
membuat pelaku bebas berkeliaran karena impunitas.
Selain
itu, menteri-menteri Jokowi tidak menjadikan HAM sebagai agenda utama. Hal itu
diperparah dengan pernyataan sejumlah menteri yang malah tidak pro dengan penegakan
HAM masa lalu. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan mencoba
memelintir tentang apa yang disebut pelanggaran HAM dengan mengatakan tidak ada
pelanggaran HAM di Era Jokowi. Demikian pula Jaksa Agung yang menyebut Tragedi
Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.
Sorotan
lainnya, YLBHI menilai hak partisipasi rakyat sering dirampok oleh pemerintah
dalam penentuan kebijakan vital negara. Seperti penerapan omnibus law dan
pemindahan ibukota. Omnibus law juga berencana menghapus berbagai hak normatif
buruh yang artinya akan makin mengurangi kualitas hidup buruh dan keluarganya.
Kemudian,
Operasi militer di Papua yang ilegal untuk dilakukan. Sejumlah daerah seperti
Kabupaten Timika, Paniai, Puncak Papua, Puncak Jaya dan Intan Jaya menjadi
lokasi penurunan pasukan yang ujung dari operasi militer tersebut adalah korban
jiwa dari pihak sipil.
Pemerintah
juga dengan gamblang dianggap memperlemah pemberantasan korupsi. Jokowi tidak
kunjung menerbitkan Perpu KPK hingga detik ini. Presiden juga tak bersikap
tegas pada sikap Menkumham Yasonna yang dianggap menghalang-halangi proses
peradilan pada kasus Harun Masiku. Atas fakta-fakta di atas, YLBHI-LBH
berkesimpulan bahwa 100 hari Jokowi-Ma’ruf menunjukkan makin jelasnya
perampasan hak-hak rakyat yang dapat mengarah pada kondisi ekstrim demi
memfasilitasi segelintir orang untuk mengeruk sumber daya alam
sebesar-besarnya, di atas pembangkangan hukum dan hak asasi manusia.
Terpisah,
Jubir Presiden Fadjroel Rachman mengklarifikasi menjawab sejumlah kritik yang
dilontarkan YLBHI atas kinerja 100 hari pertama pemerintahan Jokowi-Maruf.
Pertama,
pemerintah kini tengah berusaha menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu
lewat rancangan undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR). Dalam
rekomendasi RUU KKR nanti sangat dimungkinkan adanya rekomendasi lewat
pengadilan HAM tetap dilaksanakan
Kemudian,
pemerintah membantah menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, sehingga tidak
mungkin ada dwifungsi ABRI di periode kedua. Tidak akan pernah ada hal seperti
itu terjadi sepanjang di dalam konstitusi ada di dalam UU di dalam
perundang-undangan, tidak akan pernah ada yang bisa dilanggar oleh presiden
karena negara ini negara hukum, bukan negara kekuasaan.
BAB 1V
PENUTUP
1.
Kesimpulan
HAM
adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia dan tanpa hak itu manusia tidak
dapat hidup layak sebagai manusia HAM adalah yang dimiliki manusia yang telah
diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran di dalam kehidupan
masyarakat hak asasi bersifat umum karena diyakini bahwa beberapa hak dimiliki
tanpa perbedaan bangsa ras agama atau jenis kelamin. Upaya menghormati,
melindungi dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggung jawab
bersama antara individu pemerintah dan negara. Penegakan hukum dan HAM di era
pemerintahan yang sekarang harus segera diperbaiki.
2.
Saran
Sebaiknya,
seluruh pemerintah beserta masyarakat Indonesia, memiliki sifat tegas dan kerja
sama dalam penegakan hukum dan HAM yang ada di Indonesia.